Cukup Dengan Warna Putih |
Allaahu akbar Allaahu akbar Allahu akbar
Laailaaha illallaahu Allahu Akbar
Allaahu akbar walillaahil hamd..
Senandung takbir yang membesarkan
Asma Allah itu menggema dari lisan hamba Allah yang masih belia. Aku melihat
ada dua orang anak kecil yang melatunkan takbir. Adem..
Aku mencari barisan shof untuk
sholat. Dapat. Aku segera menggelar sajadah merah muda dan duduk. Aku ingin
banyak melihat dan sedikit berbicara.
Khayalanku tiba-tiba direnggut
oleh masa. Masa yang membungkus kenangan masa kecilku di musholla al azhar.
Musholla yang sangat aku rindukan. Musholla yang memberikan banyak ilmu yang
masih aku ingat sampai sekarang.
***
Musholla al azhar yang sekarang diganti nama menjadi musholla al mauidhoh itu adalah ‘turunan’ dari
masjid Al azhar. Masjid terbiru
satu-satunya di Desaku saat itu. Aku belajar diniyyah (istilah untuk sekolah agama sore) di sana. Bermain pada
saat istirahat.
By the way, ngomongin soal
bermain jadi ingat saat istirahat di masa itu adalah saat yang menyenangkan. Ya
Allah, ingin kembali rasanya ke masa itu. Masa itu indah sekali. Bermain sepak
bola melawan anak2 putra yang nakal. Bermain betengan. Bermain petak umpet.
Nah, petak umpet ini permainan yang paling tidak akau sukai. Aku pernah
dijahilin temen2 sampai aku harus menghitung (jaga) sampai lebih dari 3 kali.
Hiskhiks...
Musholla kami terletak di dalam
kampung, kebanyakan saat itu halaman rumah tetangga musolla masih dari tanah
dan luas. Itu tempat favorit untuk bermain bagi kami. Dan saat hujan tiba,
halaman rumah itu menampung air hujan sampai menggenang seperti launtan.
Melihat danau di depan sekolahan kami adalah hal menyenangkan. Kami suka mainan
air sampai bel berbunyi setelah sholat ashar. Itu kisah singkat masa kecilku di musholla al
azhar. Indah...
Sekolah diniyyah dan sekolah
pagiku berbeda. Sangat beda. Pagi hari aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah
Tamrinuth thullab. Berbeda karena sekolah diniyyahku adalah basis muhammadiyah
sedang Sekolah pagiku berbasis Nahdlatul Ulama’. Di dalam Keluarga besarku
Hanya keluargaku yang muhammadiyah. Biru d iantara hijau :).
Konsep yang cukup membuat bingung
anak seumuranku. Nahdlatul ulama’ dan Muhammadiyah. Beberapa kali aku menjadi
minder saat di sekolah pagi. Karena aku berbeda dengan mereka. Sekali lagi
konsep ini membuat anak seumuranku bingung. Alhamdulillah, kepala sekolahku
saat itu tidak terlalu mempersoalkan warna. ”Di sini kita belajar bukan
menonjolkan warna masing2”, mungkin kurang lebih seperti itu pemikiran beliau
jika aku bahasakan dengan Aku yang sekarang (sudah mahasiswa).
Ya, itu dua konsep yang membuatku
secara tidak sadar sulit untuk menerima perbedaan warna. Sampai aku mengenal
yang akan aku ceritakan berikut ini.
Keluargaku mendapatkan menantu
laki-laki. Ya, kakak perempuanku menikah dengan seorang ‘ikhwan’. Betapa cerdas
beliau sampai akhirnya keluarga kami tidak benar2 biru lagi. Kakak iparku
megenalkan tarbiyah lewat partai. Saat itu partai keadilan. Hal itu sontak
membuat perbedaan dalam jamaah muhammadiyah, karena warga muhammadiyah dihimbau
berpartai P*N.
Bapak adalah kyai di
muhammadiyah. Beliau salah satu orang yang merintis jamaah itu di desa kami. Sempat
terjadi konflik. Namun, kami ingin tetap damai.
***
Singkat sekali masa tiba-tiba
mengembalikanku pada waktu yang berjalan sekarang. Aku tersadar dari mengenang.
Ada jamaah yang baru saja datang di dekatku. Aku menjamunya dengan senyum.
Sekarang sepertinya sudah
berbeda. Merasakan jauh dari mereka. Tapi aku tak pernah mengingkari aku bagian
dari mereka. Bagian yang lebih luas maknanya. Aku bagian darimu. Karena kita
sama2 mukim dan muslim. Sama menjalankan perintah Allah. Mengingat kembali,
bahwa menjadi muslim itu menjadi kain putih. Putih saja. Biru tidak. Hijau
tidak. Cukup putih. Warna putih adalah sewarna yang melambangkan aqidah kita.
Warna yang melambangkan ukhuwah kita. “Sesungguhnya
mukmin itu bersaudara,” bukankah begitu firman Allah??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar