Sabtu, 05 November 2011

I Love White


Cukup Dengan Warna Putih
Allaahu akbar Allaahu akbar Allahu akbar
Laailaaha illallaahu Allahu Akbar
Allaahu akbar walillaahil hamd..
Senandung takbir yang membesarkan Asma Allah itu menggema dari lisan hamba Allah yang masih belia. Aku melihat ada dua orang anak kecil yang melatunkan takbir. Adem..
Aku mencari barisan shof untuk sholat. Dapat. Aku segera menggelar sajadah merah muda dan duduk. Aku ingin banyak melihat dan sedikit berbicara.
Khayalanku tiba-tiba direnggut oleh masa. Masa yang membungkus kenangan masa kecilku di musholla al azhar. Musholla yang sangat aku rindukan. Musholla yang memberikan banyak ilmu yang masih aku ingat  sampai sekarang.
***
Musholla al azhar yang sekarang diganti nama menjadi musholla al mauidhoh itu adalah ‘turunan’ dari masjid Al azhar. Masjid terbiru satu-satunya di Desaku saat itu. Aku belajar diniyyah (istilah untuk sekolah agama sore) di sana. Bermain pada saat istirahat.
By the way, ngomongin soal bermain jadi ingat saat istirahat di masa itu adalah saat yang menyenangkan. Ya Allah, ingin kembali rasanya ke masa itu. Masa itu indah sekali. Bermain sepak bola melawan anak2 putra yang nakal. Bermain betengan. Bermain petak umpet. Nah, petak umpet ini permainan yang paling tidak akau sukai. Aku pernah dijahilin temen2 sampai aku harus menghitung (jaga) sampai lebih dari 3 kali. Hiskhiks...
Musholla kami terletak di dalam kampung, kebanyakan saat itu halaman rumah tetangga musolla masih dari tanah dan luas. Itu tempat favorit untuk bermain bagi kami. Dan saat hujan tiba, halaman rumah itu menampung air hujan sampai menggenang seperti launtan. Melihat danau di depan sekolahan kami adalah hal menyenangkan. Kami suka mainan air sampai bel berbunyi setelah sholat ashar.  Itu kisah singkat masa kecilku di musholla al azhar. Indah...
Sekolah diniyyah dan sekolah pagiku berbeda. Sangat beda. Pagi hari aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Tamrinuth thullab. Berbeda karena sekolah diniyyahku adalah basis muhammadiyah sedang Sekolah pagiku berbasis Nahdlatul Ulama’. Di dalam Keluarga besarku Hanya keluargaku yang muhammadiyah. Biru d iantara hijau :).
Konsep yang cukup membuat bingung anak seumuranku. Nahdlatul ulama’ dan Muhammadiyah. Beberapa kali aku menjadi minder saat di sekolah pagi. Karena aku berbeda dengan mereka. Sekali lagi konsep ini membuat anak seumuranku bingung. Alhamdulillah, kepala sekolahku saat itu tidak terlalu mempersoalkan warna. ”Di sini kita belajar bukan menonjolkan warna masing2”, mungkin kurang lebih seperti itu pemikiran beliau jika aku bahasakan dengan Aku yang sekarang (sudah mahasiswa).
Ya, itu dua konsep yang membuatku secara tidak sadar sulit untuk menerima perbedaan warna. Sampai aku mengenal yang akan aku ceritakan berikut ini.
Keluargaku mendapatkan menantu laki-laki. Ya, kakak perempuanku menikah dengan seorang ‘ikhwan’. Betapa cerdas beliau sampai akhirnya keluarga kami tidak benar2 biru lagi. Kakak iparku megenalkan tarbiyah lewat partai. Saat itu partai keadilan. Hal itu sontak membuat perbedaan dalam jamaah muhammadiyah, karena warga muhammadiyah dihimbau berpartai P*N.
Bapak adalah kyai di muhammadiyah. Beliau salah satu orang yang merintis jamaah itu di desa kami. Sempat terjadi konflik. Namun, kami ingin tetap damai.
***
Singkat sekali masa tiba-tiba mengembalikanku pada waktu yang berjalan sekarang. Aku tersadar dari mengenang. Ada jamaah yang baru saja datang di dekatku. Aku menjamunya dengan senyum.
Sekarang sepertinya sudah berbeda. Merasakan jauh dari mereka. Tapi aku tak pernah mengingkari aku bagian dari mereka. Bagian yang lebih luas maknanya. Aku bagian darimu. Karena kita sama2 mukim dan muslim. Sama menjalankan perintah Allah. Mengingat kembali, bahwa menjadi muslim itu menjadi kain putih. Putih saja. Biru tidak. Hijau tidak. Cukup putih. Warna putih adalah sewarna yang melambangkan aqidah kita. Warna yang melambangkan ukhuwah kita. “Sesungguhnya mukmin itu bersaudara,” bukankah begitu firman Allah??  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar