Saudaraku, aku sarankan kau pikirkan
kembali pernyataan itu.
Ya Rabb, Aku akan tetap berdoa untuknya dan
untuk saudara-saudara yang lain. Berdoa untuk keteguhan kaki lemah ini. Berdoa
untuk kuatnya akal dalam memikirkan. Berdoa untuk tetap tegaknya punggung ini
dalam mengemban kebaikan. Berdoa untuk keterikatan hati ini dalam cinta-Mu.
Berdoa untuk kebaikan bersama…
Jika memang berat, maka kau bisa
meletakkannya dulu. Adukan saja bebanmu itu pada Rabb Yang Maha Meringankan
Beban. Jangan putus asa, saudaraku…Aku
dan barisan saudara lain siap menyokongmu. Tunjukkan bagian mana yang lemah
dari dirimu untuk kami bantu menguatkan.
Kau membahasakan kelelahan dalam pernyataan
itu dengan jelas sekali. Mintakan nasihat pada orang sholih yang fahim.
Berinteraksi dengan saudara-saudara yang bersemangat dalam dakwah agar kau ikut
tertarik dalam medan magnet kesemangat itu. Insyaallah…
Jika masalahnya terletak pada kacaunya
akademik, urusan pribadi, urusan di keluarga; maka kami bisa mengerti untuk
membiarkanmu mengambil waktu. Waktu untuk menyelesaikan masalah-masalah itu.
Dan ketika sudah usai, kami dengan sangat rindu menunggumu kembali. Maka,
utarakanlah saudaraku tentang bebanmu itu. Agar Kami dapat mengerti… Agar kami
dapat membantu.
Cerita kami diawali dengan tidak saling mengenal. kemudian Kami Akrab dan merenggang. Kemudian akrab lagi.
Sahabat, beginilah aku. Yang sering merintih perih saat Kau tak lagi bersamaku.
Ya, memang beginilah aku yang pencemburu. Hanya sekarang rupanya ada niat di dalam hati ini. untuk mengusahakan menggandeng lebih banyak kawan lagi. Tak cuma dirimu.
Sudahlah... Aku sungguh ingin berubah. Berbagi cinta. Berbagi rasa. berbagi cerita dengan hati yang lain.
***
Mengenang masa dahulu. masa kecil bersama keluarga. Saat Aku sangat mendambakan bisa terus bersama Masku, Mas Toriq yang selalu aku sayang. Aku tidak tahu mengapa. Setiap pasang kaki kecil pasti akan selalu ingin digendongnya. Seolah ada magnet yang menarik dengan medannya yang begitu kuat. Terbukti tujuh keponakanku juga tak ubahnya dengan diriku. Dialah masku... Pahlawanku setelah Bapak. Jodoh untuk masku. itu tema hari-hariku saat ini. Aku ingin melihatnya bisa berkeluarga. Ya Rabb, dekatkan jodoh terbaik untuknya v.v
***
Aku juga ingin berbicara tentang ini. Duduk semeja makan di kantin dengan orang yang tidak Kau kenal mungkin menjemukan. Tapi tidak denganku. Kemaren aku menikmati proses perkenalan itu. semeja dengan adik angkatan di Psikologi. Lisa namanya. Berbagi cerita. Membeli stiker yang ditawarkannya. Sekarang, setiap kami bertemu kami saling menyapa berbeda dengan hari-hari sebelumnya, diam tak mengenal. Cukup dengan 15 menit bersapa-sapa di meja kotak kantin itu. Semoga bisa merubah apa yang seharusnya bisa diubah....
***
Pagi ini ada bubur ayam bersama mba Ari. heeemm, tak tahu kenapa tidak seperti bisas. bubur kali ini enak......
Mba Ari, mbak yang Aku sayang. Mbak yang bisa membuatku mengambil teladan. Mbak yang bersemangat! ^.^
Hari ini... Adalah lembaran baru bagiku
Ku disini... Karna kau yang memilihku
Tak pernah kuragu akan cintamu
Inilah diriku dengan melodi untukmu
Dan bila aku berdiri tegar sampai hari ini
Bukan karna kuat dan hebatku
Semua karena cinta, semua karena cinta...
Tak mampu diriku dapat berdiri tegar, terima kasih cinta
Inilah diriku dengan melodi untukmu
Dan bila aku berdiri tegar sampai hari ini
Bukan karna kuat dan hebatku
Semua karena cinta, semua karena cinta...
Tak mampu diriku dapat berdiri tegar, terima kasih cinta
Aku mencintai semburat keemasan tiap kali kami melingkar.
Semburat keemasan di waktu pagi. Pagi antara jam 6 sampai jam 7.
Pagi itu semburat keemasan menyilaukan mata namun sedap
dipandang. Pertanda langit sedang cerah dan awan sangat putih menaunginya. “Aku
ingin memaknai pagi ini”, kataku dalam hati.
Aku mengulang beberapa hafalan penting itu. Hafalan yang keluar
tiap kali ujian di taskif hari kamis. Tapi lagi-lagi oh Kawan, Aku malu
bercerita. Aku selalu tak bisa mengingat dan mengurutkannya. Mengurutkan arkanul
bai’ah dan maratibul amal. Hehehe
Materi dalam lingkaran itu banyak membuka mataku. Tentang
kejamaahan. Tentang adab ijin dalam agenda jamaah. dan lain-lain
Merasakan nikmat berjamaah, sungguh indah..
Menerima manis, pahit dan getirnya adalah pilihan. di sini, di Fummi.
di rumah yang banyak mengajari aku tentang makna bersaudara. meski aku
masih jauh dari kata mengerti, sungguh aku ingin terus belajar hingga
penglihatan ini tak sanggup lagi menyaksikan. hingga pendengaran ini
tak sanggup lagi mendengarkan. dan hingga Allah mencukupkan bilangan
usiaku.
Lebih dari sebuah organisasi. lebih dari sebuah
Lembaga dakwah kampus. Fummi adalah rumah yang menyejukkan penghuninya.
dan, menyejukkan mata yang menyaksikannya. itu cita-cita kita bersama.
Perjuangan untuk membeli keridhoan Allah dengan apa yang sudah kita
genggam sekarang adalah harga mahal. Kenapa mahal? karena kesempatan
untuk ada di sini tidak bisa kita upayakan, meski semua yang ada di
langit dan bumi kita kumpulkan untuk membeli kesempatan itu dari Allah.
Membicarakan profesionalitas, aku yakin antum lebih mengerti.
Namun, teori ini tak selamanya dianut oleh penghuni rumah dakwah.
Karena kenyataan memang seperti ini, saudara2 yang ingin kita peluk
erat kadang menguras energi kesabaran terbesar kita. kadang kita harus
rela menukarnya dengan rasa capek dan kecewa. dan oleh orang2
disebutlah hal ini sebagai ketidakprofesionalan. Kita ingin selalu
mengingat bahwa "Siapa yang mahamenggenggam hati?"
waallahu a'lam. Aku hanya ingin mjd saudara terbaik di antara yang terbaik. :)
Senandung takbir yang membesarkan
Asma Allah itu menggema dari lisan hamba Allah yang masih belia. Aku melihat
ada dua orang anak kecil yang melatunkan takbir. Adem..
Aku mencari barisan shof untuk
sholat. Dapat. Aku segera menggelar sajadah merah muda dan duduk. Aku ingin
banyak melihat dan sedikit berbicara.
Khayalanku tiba-tiba direnggut
oleh masa. Masa yang membungkus kenangan masa kecilku di musholla al azhar.
Musholla yang sangat aku rindukan. Musholla yang memberikan banyak ilmu yang
masih aku ingatsampai sekarang.
***
Musholla al azhar yang sekarang diganti nama menjadi musholla al mauidhoh itu adalah ‘turunan’ dari
masjid Al azhar. Masjid terbiru
satu-satunya di Desaku saat itu. Aku belajar diniyyah (istilah untuk sekolah agama sore) di sana. Bermain pada
saat istirahat.
By the way, ngomongin soal
bermain jadi ingat saat istirahat di masa itu adalah saat yang menyenangkan. Ya
Allah, ingin kembali rasanya ke masa itu. Masa itu indah sekali. Bermain sepak
bola melawan anak2 putra yang nakal. Bermain betengan. Bermain petak umpet.
Nah, petak umpet ini permainan yang paling tidak akau sukai. Aku pernah
dijahilin temen2 sampai aku harus menghitung (jaga) sampai lebih dari 3 kali.
Hiskhiks...
Musholla kami terletak di dalam
kampung, kebanyakan saat itu halaman rumah tetangga musolla masih dari tanah
dan luas. Itu tempat favorit untuk bermain bagi kami. Dan saat hujan tiba,
halaman rumah itu menampung air hujan sampai menggenang seperti launtan.
Melihat danau di depan sekolahan kami adalah hal menyenangkan. Kami suka mainan
air sampai bel berbunyi setelah sholat ashar. Itu kisah singkat masa kecilku di musholla al
azhar. Indah...
Sekolah diniyyah dan sekolah
pagiku berbeda. Sangat beda. Pagi hari aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah
Tamrinuth thullab. Berbeda karena sekolah diniyyahku adalah basis muhammadiyah
sedang Sekolah pagiku berbasis Nahdlatul Ulama’. Di dalam Keluarga besarku
Hanya keluargaku yang muhammadiyah. Biru d iantara hijau :).
Konsep yang cukup membuat bingung
anak seumuranku. Nahdlatul ulama’ dan Muhammadiyah. Beberapa kali aku menjadi
minder saat di sekolah pagi. Karena aku berbeda dengan mereka. Sekali lagi
konsep ini membuat anak seumuranku bingung. Alhamdulillah, kepala sekolahku
saat itu tidak terlalu mempersoalkan warna. ”Di sini kita belajar bukan
menonjolkan warna masing2”, mungkin kurang lebih seperti itu pemikiran beliau
jika aku bahasakan dengan Aku yang sekarang (sudah mahasiswa).
Ya, itu dua konsep yang membuatku
secara tidak sadar sulit untuk menerima perbedaan warna. Sampai aku mengenal
yang akan aku ceritakan berikut ini.
Keluargaku mendapatkan menantu
laki-laki. Ya, kakak perempuanku menikah dengan seorang ‘ikhwan’. Betapa cerdas
beliau sampai akhirnya keluarga kami tidak benar2 biru lagi. Kakak iparku
megenalkan tarbiyah lewat partai. Saat itu partai keadilan. Hal itu sontak
membuat perbedaan dalam jamaah muhammadiyah, karena warga muhammadiyah dihimbau
berpartai P*N.
Bapak adalah kyai di
muhammadiyah. Beliau salah satu orang yang merintis jamaah itu di desa kami. Sempat
terjadi konflik. Namun, kami ingin tetap damai.
***
Singkat sekali masa tiba-tiba
mengembalikanku pada waktu yang berjalan sekarang. Aku tersadar dari mengenang.
Ada jamaah yang baru saja datang di dekatku. Aku menjamunya dengan senyum.
Sekarang sepertinya sudah
berbeda. Merasakan jauh dari mereka. Tapi aku tak pernah mengingkari aku bagian
dari mereka. Bagian yang lebih luas maknanya. Aku bagian darimu. Karena kita
sama2 mukim dan muslim. Sama menjalankan perintah Allah. Mengingat kembali,
bahwa menjadi muslim itu menjadi kain putih. Putih saja. Biru tidak. Hijau
tidak. Cukup putih. Warna putih adalah sewarna yang melambangkan aqidah kita.
Warna yang melambangkan ukhuwah kita. “Sesungguhnya
mukmin itu bersaudara,” bukankah begitu firman Allah??
Sedang menenagkan diri. Sedang mengatur napas. Membuatnya teratur. Sedang ingin tersenyum.
Melewati gejolak jiwa yang bergumul di rongga dada beberapa menit yang lalu. hingga jemari saat itu tegas menekan huruf-huruf dan merangakainya menjadi tulisan ini:
Malam ini aku bercermin. Benar-benar
ingin bercermin. Ingin lekat dengan cermin dan mengenal siapa aku yang di dalam
cermin itu. Aku melihat diriku. Kelihatannya lelah. Oh, mungkin karena terlalu
capek. Capek karena kuliah, mungkin juga karena organisasi. Oh, atau bahkan
capek karena banyak disibukkan dengan hal yang masih kurang mempunyai manfaat. Ada
Kantung mata terbentuk. Karena banyak melek di malam hari untuk menyelesaikan
amanah2 tertulis ataukah karena terlalu banyak menatap monitor untuk
facebook-an???
Astaghfirullah.... Lia, itu
bercermin dalam pengertian yang cetek.
Lalu, harus bagaimana aku
bercermin?
Coba kau lihat saudara-saudaramu.
Lihatlah mereka. Kamu sering mengeluh kenapa mereka begini kenapa begitu. Padahal
harusnya kan seperti ini. Kamu selalu protes. Kenapa dia gak perhatian. Kenapa dia
tak peduli. Kenapa dia tak menyapaku pagi kemaren??
Ya Allah, aku ingin semuanya
malam ini. Ingin kawan2 seperjuangan bisa kudatangkan dalam satu meja bundar
dan mengeluarkan semua kekesalanku. Ingin mereka tahu. Ukhti, mari bersama
memikul amanah ini. Bukankah bersama itu lebih indah? Bukankah bersama itu
lebih ringan?
Aku kembali bercermin. Menemukan
retak-retak dalam bayangan.
Hingga... Angin penyejuk itu
datang. Muslim yang satu adalah cermin untuk saudaranya yang lain. Maka ketika
si muslim menemukan retak dalam bayangnya. Bukanlah bayang itu yang coba di
tutupi retakannya. Sungguh, dirimu sendirilah yang butuh diisi celah retaknya,
sampai bayang yang terlihat di cermin adalah bayang tak bercelah.
Sungguh, cermin tidak pernah
bohong. Ia hanya akan menampilkan bayangan sesuai bentuk aslimu. Cermin itu
jujur.
***
Beristighfar,
ya Allah.. Cinta dari langit itu yang seperti apa??
Aku ingin memilikinya. Aku ingin menggenggamnya. Aku ingin menebarkannya...