Melewati gejolak jiwa yang bergumul di rongga dada beberapa menit yang lalu. hingga jemari saat itu tegas menekan huruf-huruf dan merangakainya menjadi tulisan ini:
Malam ini aku bercermin. Benar-benar
ingin bercermin. Ingin lekat dengan cermin dan mengenal siapa aku yang di dalam
cermin itu. Aku melihat diriku. Kelihatannya lelah. Oh, mungkin karena terlalu
capek. Capek karena kuliah, mungkin juga karena organisasi. Oh, atau bahkan
capek karena banyak disibukkan dengan hal yang masih kurang mempunyai manfaat. Ada
Kantung mata terbentuk. Karena banyak melek di malam hari untuk menyelesaikan
amanah2 tertulis ataukah karena terlalu banyak menatap monitor untuk
facebook-an???
Astaghfirullah.... Lia, itu
bercermin dalam pengertian yang cetek.
Lalu, harus bagaimana aku
bercermin?
Coba kau lihat saudara-saudaramu.
Lihatlah mereka. Kamu sering mengeluh kenapa mereka begini kenapa begitu. Padahal
harusnya kan seperti ini. Kamu selalu protes. Kenapa dia gak perhatian. Kenapa dia
tak peduli. Kenapa dia tak menyapaku pagi kemaren??
Ya Allah, aku ingin semuanya
malam ini. Ingin kawan2 seperjuangan bisa kudatangkan dalam satu meja bundar
dan mengeluarkan semua kekesalanku. Ingin mereka tahu. Ukhti, mari bersama
memikul amanah ini. Bukankah bersama itu lebih indah? Bukankah bersama itu
lebih ringan?
Aku kembali bercermin. Menemukan
retak-retak dalam bayangan.
Hingga... Angin penyejuk itu
datang. Muslim yang satu adalah cermin untuk saudaranya yang lain. Maka ketika
si muslim menemukan retak dalam bayangnya. Bukanlah bayang itu yang coba di
tutupi retakannya. Sungguh, dirimu sendirilah yang butuh diisi celah retaknya,
sampai bayang yang terlihat di cermin adalah bayang tak bercelah.
Sungguh, cermin tidak pernah
bohong. Ia hanya akan menampilkan bayangan sesuai bentuk aslimu. Cermin itu
jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar